Skip to content

Karma Ouroboros

Seorang pria merenungi kenangan akan cinta yang hilang, melintasi tempat-tempat penuh memori dengan mantan kekasihnya, dan bergulat dengan rasa kehilangan.

“3”
“2”
“1”
“silakan jalan”

   Aku melajukan motor di jalan dimana segalanya dimulai. Menyusuri persimpangan demi persimpangan yang tak kunjung kumengerti. Tapi aku selalu tahu dimana kau berhenti untuk mengusap air matamu yang tidak hilang oleh angin. Bising lalu lalang kendaraan yang tiap malam berdesing seiras parasmu menyeruput tegukan pertama dari secangkir kopi yang tak pernah kau sesap hingga kering.
   Aku ingat bagaimana kau menghisap batang demi batang yang menyeretmu kepada kepedihan lubang tak berdasar, atau bagaimana matamu berbinar ketika kau merasukiku dengan kata kata yang entah mengapa selalu membuatku seperti berada di tengah persimpangan kota tanpa rasa cemas akan apapun yang mungkin menghantamku. Kemudian aku dengar kau bertutur

    “niet belangrijk”-tidak penting-“apa yang kau harapkan dari manusia? Mereka hanya akan menimbunmu ke dalam ingatan mereka sembari membunuhmu dengan harapan-harapan semu” kau berhenti sejenak menghisap keputusasaan yang perlahan menggerogotimu “sudahlah, kau tidak akan memenangkan perkara ini, bukannya aku memintamu untuk menyerah, aku tak mau kau terluka lebih dari ini”
  
   Aku akan lebih terluka jika aku menghentikannya, melebarkan lukanya kepada tanah subur dan menjadikannya gersang

   Kepulan niscaya itu melenyapkanmu dari pandanganku, selagi aku memungut kunci yang jatuh di antara kaki meja, aku menemukan bahwa kau tak pernah di sini. Semua itu terjadi di dalam kepala yang tak henti-hentinya berkecamuk liar bak badai di lautan ganas.

    Debar jantungku meningkat seiring kesadaranku yang mulai menghampiri. Aku baru saja bangun dari tidurku di tengah malam yang dingin, gelap. Menyadari bahwa pagi belum datang, sedang aku tak ingin kembali kepada mimpi buruk tentang hilangnya dirimu pada rimbunnya malam.

  Aku beranjak dari tempat tidurku, terhuyung menyalakan lampu dan berjalan menuju kamar mandi hanya untuk mendapati rupaku yang membiru, mewujudkan ketakutanku pada mimpi buruk itu. Aku ngeri menatap cermin kecil di dinding kamar mandi. Setelah membasuh wajahku, aku memakai jaket untuk keluar dari “4×3” yang menyesakkan.

   Menghirup angin dini hari mungkin akan menenangkanku. Sayangnya, aku baru menyadari bahwa aku masih terbangun di kota tempat kau memudar. Tiap persimpangan kulewati hanya mengembalikan memoriku pada ukiran yang kau buat di masa kita masih berbincang mengenai burung-burung yang selalu berkumpul di atas tiang listrik tiap malam menjelang, di masa ketika kita masih berbincang tentang apa yang dilakukan tetanggamu pukul 2 dini hari sedang kita masih bercengkerama. Mengepulkan kata demi kata, memutar melodi-melodi yang menuntunmu kepada belai nyaman rajutanku.

  Sekarang kota ini dingin, sedingin ruang hampa yang kita pandangi di akhir pekan berwaktu-waktu yang lalu. Kota ini usang, berdebu seperti rak buku-buku tua di kedai kopi tempat kita singgah menafikan waktu. Dadaku seketika sesak, entah apa yang masuk ke dalamnya. Entah apa yang singgah pada solar plexus-ku. Aku terus menyusuri jalanan dimana kita merapatkan diri pada rindangnya malam. Menapaku langkah berat menuju tempat makan favoritmu dulu. Mungkin sekarang kau benci semua hal tentang kota ini. Tapi aku tidak, aku terus menahan terpaan kepingan dingin ini, selagi berusaha mencari nyaman di dalamnya.

 Aku masih ingat lagu yang disenandungkan “ruang bebas tangis” di teluk jalanan.

“people fall in love in a mysterious way”

   Benar saja, begitulah percikan itu terjadi, tak bisa kupahami sebabnya. Aku tidak pernah mengucurkan air mataku di “ruang bebas tangis” yang selalu kita kunjungi di masa kita berupaya menyatukan harapan kosongyang bahkan tak mau menanti.

  Diam dan sunyi terus meramaikan ruang di antara kita, semakin gaduh ia membuncahkan rasa demi rasa yang kita gelutkan -setidaknya aku- bagaimana mungkin kau mampu menelannya begitu saja? Sedang kerongkonganmu tercekik bara api beku. Entah apa yang mengalir lewat tenggorokanmu, hingga nafasmu mengerjap seperti kunang-kunang yang tak pernah kita temukan di antara gang-gang ini.

   Aku masih ingat bau parfummu yang menempel di jaketku ketika aku meminjamkannya padamu saat kita menyusuri pedih dan hujan. Pendar hangat yang memanduku menuju bukit sunyi, kini telah menyerahkan karsanya kepada gemintang cemerlang yang menyesakkan langit malam. Mendung telah pergi bersama ingatanku akan aromamu.

“apa yang kau dengarkan?” Tanyamu

Aku tak bisa mendengarnya, maupun menjawabnya

“aku yakin itu adalah komposisi yang luar biasa, melihat bola matamu yang berlarian”

Kau harus mendengarnya

   Kemudian kita lenyap di lampu-lampu jalan yang dinyalakan. Meniti perlahan, berjingkat memastikan tak ada keping kenangan yang terinjak. Pada jeda tunggu itu kau berandai andai tentang mereka yang meninggalkanmu. Sedang aku di sana menatap penuh harap bahwa kelak kau akan menyadari kehadiranku. Wujudku masih separuh tampak, tertutup kabut yang memadati hatimu.

   Aku berusaha menyingkirkannya dengan gemerlap, namun kau menolaknya tiap kali aku mendekatinya. Kala itu kita berteduh di balik batu besar yang menandai batas dunia kita. Kita bukan lagi resah yang mengambang janggal di penghujung pekan, kita menjelma tenang sementara, mengabaikan laju waktu yang membeku.

Aku terkesiap, dan menyadari bahwa kau tak lagi membasahi pundakku. Waktu telah melaju demikian cepat hingga aku berpikir bahwa genggam terakhir yang kita miliki baru terjadi kemarin. Aku menatap lekat ruang di sela jari-jariku, tempat dimana jemarimu biasa terdampar.

Kemudian aku bangun di bawah langit-langit putih yang kemarin, kini, dan akan datang. Air mataku berhenti mengalir untuk waktu yang tidak bisa kupastikan.

“0”

“1”

“…”

Bagikan Unggahan Ini

Unggahan Terkait

Sebuah Review Lagu: Badai Telah

"Lagu 'Badai Telah Berlalu' dari Laleilmanino, Diskoria, dan Bunga Citra Lestari memikat dengan nuansa retro, aransemen ciamik, dan vokal emosional, menciptakan harmoni nostalgia dan modern."

Selengkapnya

Buku Tanpa Akhir

Puisi ini menggambarkan bumi sebagai entitas hidup yang penuh kenangan dan pelajaran, mencatat setiap momen, mengajarkan hakikat hidup, dan mengalirkan doa dalam setiap tetes hujan.

Selengkapnya

Siapa Aku…?

Mencari jati diri dalam keramaian, aku pencerita, menggali makna hidup. Tak mau berhenti, terus berusaha menjadi versi terbaik dari diri sendiri.

Selengkapnya

Jadi Yang Paling Update. Langganan, Yuk!