Perempuan berdiri tangguh, menenun peradaban dengan asa. Menjadi pelita di tengah kegelapan, simbol kekuatan, melawan badai dan menciptakan sejarah abadi.
Tangannya menari-nari di atas sebuah Keyboard dengan lihai. Menciptakan alunan musik yang lembut dan enak di dengar. Netranya tak berkedip, menatap deretan kata yang telah ia ketik. Tak terusik sekalipun. Bahkan ketika seorang pria berdiri di belakangnya dengan tatapan sinis.
“Ekhem…”
Jari-jarinya terhenti ketika mendengar suara seseorang di belakangnya.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya si gadis pemilik kamar.
Tatapannya tajam, tak suka saat melihat sang kakak memasuki kamarnya tanpa izin.Sang pria yang awalnya berdiri menyender di pintu dan bersedekah dada, kini berjalan ke arahnya lalu duduk di atas kasur sang adik.
“Liona,” tatapan sang gadis semakin sinis ketika pria itu memanggil namanya. “Hentikan pekerjaan tidak berguna itu. Sudah hampir setahun kamu lulus kuliah, tapi tidak mencari pekerjaan. Hanya di rumah dan berkutat dengan tulisan-tulisan aneh itu.”
“Dari sisi mana anehnya? Kamu juga ga baca tulisanku! Tulisanku bagus tau!”
‘Ahhh! pd banget. Siapa yang bilang?”
“Bun-,”
“Cuma bunda aja bangga,” ucapan pria itu semakin membuatnya kesal.
BRAK!
“kenapa, sih selalu ganggu aku tiap nulis? Ini hobiku. Bisa ga, sih ga usah gangguin? Keluar sana!”
Kekesalan Liona kini ada di puncak. Dulu ia dan Ray-kakaknya_ memiliki hubungan yang cukup dekat. Tapi, sejak masuk SMA hubungan mereka mulai berubah. Pria itu jarang bicara dengannya, bahkan seperti tidak kenal. Sejak ia memutuskan mengambil jurusan bahasa, Ray mulai menjauh. Ray menganggap remeh jurusan itu, sehingga ia mulai menjauhi Liona.
Ia menatap rentetan tulisan itu sejenak, kemudian berlalu menatap jendela yang tirainya tertutup. Helaan nafas panjang terdengar dari mulutnya Perasaannya tak karuan saat ini. Perkataan Ray terngingang terus di kepalanya. Apakah jalan yang ia pilih sudah benar? Semoga saja…
***
Liona berjalan ke arah mena makan. Sudah ada kedua orang tuanya dan juga Ray. Mereka sangat asyik mengobrol, tanpa memperhatikan Liona yang berjalan ke arah mereka. Langkahnya terhenti ketika mendengarkan pembicaraan mereka.
“Biarkan dia berkreasi sesukanya. Itu keputusannya,” sebuah senyum kecil terbit di bibir gadis itu ketika mendengarkan ucapan papa. Tapi senyumnya tak bertahan lama ketika mendengar kalimat selanjutnya. “Dia memang susah diatur. Jadi biarkan saja. Nantinya dia juga akan tahu jika itu tidak berguna.”
Netra itu memburam. Ia tak pernah menyangka jika ayahnya akan mengatakan hal seperti itu. Mengurungkan niatnya dan kembali ke kamar adalah opsi terbaik untuk menenangkan diri. Cairan bening telah membasahi pelupuk matanya. Tatapannya kosong. Ia diam meringkuk di atas kasur.
Tok tok tok
Ketukan pintu itu mengalihkan perhatiannya. Ia menyeka air matanya dan berbalik ke arah pintu.
“Ya,” sahutnya dengan suara yang masih parau.
“Cepat makan!” teriak bundanya dari luar kamar.
“Ya, bentar,” setelah memastikan tidak ada sisa air mata di netranya, ia pergi ke luar menghampiri keluarganya yang masih berada di meja makan. Ia menghela nafas panjang sebelum menghampiri mereka.
“Kenapa matamu?” tanya Ray dengan tatapan khawatir.
Liona hanya menggeleng lalu duduk di samping Ray. Ia makan tanpa suara. Menghiraukan tatapan ayah yang menatapnya dengan bingung. “Kenapa kamu?”
“Emang aku kenapa?”
Ayah meletakkan sendok dan menegakkan badannya. “Kamu nggak pengen cari kerja?”
Liona meletakkan alat makannya lalu menegakkan tubuhnya. “Aku sudah punya pekerjaan, Ayah. Menulis adalah pekerjaanku.”
“itu bukan pekerjaan, itu hanya hobi. Sebaiknya kamu cari pekerjaan tetap.”
Liona menghela nafas panjang. Ia sudah menduganya sejak tadi. Apa yang mereka bicarakan tadi pasti akan mereka bahas di saat makan malam.
“Ayah-,”
“Sekarang ayah tanya sama kamu, sampai mana tulisanmu? Bertahun-tahun kamu belajar sastra dan kepenulisan, tapi ayah belum pernah melihat hasilnya sampai sekarang. Jadi menurut ayah, kamu harus cari pekerjaan lain. Nggak perlu di perusahaan besar, yang penting kamu ada kerjaan dan nggak bergantung sama kami terus-terusan. Nggak selamanya kami ada buat kamu, Liona,” Liona hanya diam menunduk. Perkataan ayah memang ada benarnya. Tidak selamanya ia hidup bersama mereka. Ada masanya ia harus hidup mandiri.
Gadis itu menghela nafas panjang. “Aku sudah selesai. Bunda, taruh saja semua cucian piringnya, nanti aku cuci,” setelah itu Liona bangkit dari duduknya, tanpa berbalik. Menghiraukan tatapan sendu dari bunda dan raut kesal dari wajah Ray.
***
Aroma fragrance yang sedang digiling dan harum cinamonroll yang baru saja ke luar dari oven menemani gadis berambut ikal coklat itu di pagi hari di sebuah cafe pagi itu. Netranya fokus pada rentetan kata di laptopnya. Perhatiannya terusik ketika merasakan seseorang sedang memperhatikannya. Saat ia menoleh, senyum cerah terpatri di wajahnya. Seorang gadis berambut ikal hitam legam berdiri di hadapannya. Tanpa menunggu arahan Liona, gadis itu segera duduk di hadapannya.
“Jadi bagaimana keadaanmu?” tanya sang gadis tanpa berbasa-basi.
Liona menghela nafas panjang, “ Seperti yang kamu lihat. Tidak terlalu baik, Jess,” ucapnya pada sang gadis yang bernama Jessy itu.
Jessy yang merupakan sahabat baik sekaligus tempat curhat Liona, sangat mengetahui keadaan gadis itu. Liona sering menceritakan tentang orangtua dan kakanya yang sering kali menolak keputusannya untuk berkarya. Tentang mereka yang mengatai tulisannya tidak berguna. Hal itu sering membuatnya stres dan berakhir meringkuk di kamar ataupun menangis di dekapan Jessy.
“Sekarang apalagi yang mereka lakukan?” tanya Jessy yang sudah sangat hafal dengan tujuan mereka bertemu.
Liona hanya menggeleng lalu menyodorkan laptopnya, “Bagaimana menurutmu?” tanyanya tentang tulisan opini yang ia buat.
“Mau di publish?” tanya gadis itu dan disahut anggukan oleh Liona.
Jessy ikut mengangguk lalu berkata, “Sampai kapan kamu mau sembunyikan semua ini ke mereka? Mereka juga perlu tau, kan.”
“Huf…” helaan nafas panjang keluar dari mulut gadis itu. “Menurutmu apa mereka peduli? Kamu ingat ga, waktu SMA aku menang lomba baca puisi. Mereka nggak bereaksi apa-apa kan. Nggak bangga sama sekali,” jawab liona dengan malas.
“Menurutku, kamu cerita deh, minimal ke bunda. Seenggaknya mereka tau kalau kamu juga punya pekerjaan, walau Cuma freelance.”
“Udahlah. Oh ya, besok aku ada acara di balai kota. Aku jadi pengisi acaranya. Ikut, ya.”
“Acaranya apa?”
“Bazar buku dan talk show tentang literasi.”
Jessy mengangguk dengan semangat. Obrolan mereka berlangsung cukup lama. Banyak hal yang mereka bicarakan. Hari ini Liona merasa senang. Ia bisa meluapkan kesedihannya pada sahabatnya.
***
Suasana balai kota sangat padat. Masyarakat cukup antusias dengan bazar buku kali ini. Banyak dari mereka yang juga duduk di kursi penonton menyaksikan talk show yang sedang diadakan. Seorang pria berkaps hitam juga nampak sibuk memilih beberapa buku yang ingin ia beli. Sebuah buku bersampul marun menarik perhatiannya. ‘Duri Mawar’ adalah judul dari buku itu. Pandangannya teralihkan lagi oleh suara MC yang sedang mengundang seorang bintang tamu. Netranya terbelalak melihat seorang gadis yang sangat familiar baginya. Selama gadis itu memaparkan materi, Netranya tak lepas dari sang gadis. Ia semakin tertegun ketika mendengarkan sebuah cerita dari gadis itu.
“Kak Lili, kakakkan punya banyak karya, menurut kakak cerita yang paling emosional yang pernah kakak tulis apa?” tanya sang MC.
“Emmmm, ada satu novel yang menurutku paling emosional, terutama ketika aku nulisnya. Judulnya Duri Mawar.”
“Oh, itu buku kakak yang paling populer, kan?” tanya sang MC, sontak sang pria memperhatikan buku yang masih ia pegang itu. Perhatiannya terpusat lagi pada sang gadis ketika ia kembali bercerita.
“Emm, jadi buku ini mengisikan suara hati temen-temen aku yang suka menulis, tapi keluarga mereka punya pandangan lain tentang menulis ini. Mereka menganggap jika menulis hanyalah hobi semata, padahal menulis bisa mendatangkan banyak rejeki. Tapi sebenarnya, keluarga mereka bukan melarang mereka karena nggak boleh nulis, tapi lebih ke takut kalau anak mereka nggak punya pekerjaan yang mapan, nggak bisa menghidupi diri mereka sendiri dan takut jika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan ke anak mereka. Jadilah aku buat novel ini. Diana, si tokoh utama yang mimpinya sedikit terhalang karena tidak diizinkan orangtuanya, tapi dia punya cara tersendiri untuk membuktikan hal itu.”
Sang pria, Ray menggenggam buku itu sangat erat. ‘Lili itu Liona?” tanyanya dalam hati.
Ia berjalan cepat ke kasir dan segera membayar buku itu.
“Masnya suka baca cerita kak Lili, ya? Bukunya emang bagus banget, sih Mas. Banyak nilai moralnya. Saya udah baca buku ini, bagus banget,” celoteh sang kasir saat memproses pembayaran. “Tokoh utamanya sebenernya kasihan, Mas. Dia nggak didukung sama keluarganya untuk berkarya. Mas, setelah talk show ada jumpa penggemar, masnya bisa minta tanda tangan ke Kak Lili,” Ray tertegun mendengar perkataan kasir itu. Setelah selesai membayar ia pergi meninggalkan tempat itu.
“Saya buru-buru Mba,” ucapnya seraya berlalu.
Ray sampai di rumah dengan perasaan campur aduk. Ia pergi ke kamarnya dan segera membaca buku yang ia beli. Buku setebal 310 halaman itu ia habiskan dalam waktu 2 hari. Perasaannya campur aduk setelah selesai membacana. Ia tidak pernah menyangka jika adiknya sepopuler itu. Tulisannya sangat indah. Ia tak pernah menyangka jika seluruh kata-kata kurang mengenakkan darinya dan orang tuanya bisa ia maknai dengan baik dan ia rangkai ke dalam sebuah novel yang indah.
Ia duduk terdiam di ruang tamu. Menatap Liona yang sedang sibuk bermain game di laptopnya. Di tatapnya lagi buku bersampul marun yang ia pegang kemudian menghela nafas panjang. Suara helaan nafas itu mengusik perhatian Liona.
“Kenapa deh?” tanya gadis itu yang masih fokus dengan laptopnya. Keadaan rumah yang sepi semakin menambah rasa canggung di antara mereka. Ah, bukan mereka, tapi Ray yang merasa canggung. Ia menghela nafas lagi. Hal itu berhasil mengalihkan perhatian Liona. Ia pun mengubah posisinya yang awalnya tengkurap di lantai menjadi duduk di samping Ray.
Netra gadis itu beralih pada buku yang ada di genggaman sang kakak. Sontak matanya terbelalak. Wajahnya berubah pucat.
“Dia membaca buku? Semoga saja dia tidak tau jika itu adalah karyaku. Bisa habis dimarahi aku nanti,” ucapnya dalam hati.
“Ah, buku ini sangat bagus. Penulis ini memang benar, seharusnya kita tidak menghalangi mimpi seseorang. Kamu udah baca, kan?” tanya Ray yang menyadari jika sang adik memperhatikan buku itu. Ia pun berusaha mengatur raut paniknya sama seperti Liona.
“Menurutmu begitu?” sahut Liona.
Ray kembali menghela nafas panjang. Ia menegakkan badannya dan memusatkan perhatiannya pada gadis itu.
“Ekhem… Ya . Menurutku begitu.”
Suasana kembali hening. Rasa canggung meliputi mereka. Tak ada yang membuka suara.
“Menurutmu, apa kamu sangat jahat?” pertanyaan itu keluar dari bibir tebal Ray setelah beberapa menit diam.
Liona menghela nafas panjang. Kesimpulan dari pertanyaan Ray adalah ia telah mengetahui bahwa buku di genggamannya adalah novel katanya. Ia berarti tidak salah lihat, orang yang ia lihat di bazar buku benar Ray.
“Jika aku merasa kalian jahat, buku di tanganmu itu tidak akan pernah terbit,” jawabnya dengan senyum kecil.
“Yah, benar. Aku egois,” ucapnya dengan mata yang tidak fokus.
Liona menggeleng kuat. Ia tidak pernah merasa seperti itu. Ia memang marah. Tapi, ia sadar jika perkataan keluarganya memang benar dan ia berusaha memaknai setiap perkataan mereka dengan baik.
“Setangkai mawar memang indah jika tidak memiliki duri. Tapi tanpa duri-duri itu, sang mawar tidak akan selamat dari hewan-hewan pengganggu. Duri-duri itu akan senantiasa melindungi mawar.”
“Wanita terhebat yang pernah ku kenal,” ucap Ray seraya mengusap can bening yang membasahi pipi sang adik.
Unggahan Terkait
Seorang pria merenungi kenangan akan cinta yang hilang, melintasi tempat-tempat penuh memori dengan mantan kekasihnya, dan bergulat dengan rasa kehilangan.
Mencari jati diri dalam keramaian, aku pencerita, menggali makna hidup. Tak mau berhenti, terus berusaha menjadi versi terbaik dari diri sendiri.
Puisi yang kaya akan simbolisme, menceritakan pertemuan antara bayangan diri dan seorang wanita yang menulis puisi menggunakan darahnya sebagai inspirasi.